PERPUSTAKAAN PUSAT

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

PERPUSTAKAAN PUSAT

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM

[kc_row use_container=”yes” force=”no” column_align=”middle” video_mute=”no” _id=”151691″][kc_column width=”12/12″ video_mute=”no” _id=”389462″][kc_column_text _id=”718374″ css_custom=”{`kc-css`:{`any`:{`typography`:{`text-align|,p`:`justify`}}}}”]

Pustakawan UIN Maulana Malik Ibrahim, Ari Zuntriana, berkesempatan mengikuti kursus musim panas FSCI di University of California Los Angeles, AS, pada tanggal 5-9 Agustus 2019. Berikut adalah catatannya setelah mengikuti kegiatan tersebut.

Pada awal Agustus 2019, saya berkesempatan mengikuti kursus musim panas tentang komunikasi ilmiah (scholarly communication) di University of California Los Angeles (UCLA). Kursus singkat yang disebut FSCI (FORCE11 Scholarly Communications Institute) ini merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan organisasi FORCE11. Saya adalah salah satu penerima beasiswa yang memperoleh biaya perjalanan dan biaya kursus. Penerima beasiswa untuk tahun 2019 ini datang dari 13 negara, saya satu-satunya penerima beasiswa sekaligus peserta kursus dari Indonesia.

FORCE11 atau The Future of Research Communications and e-Scholarship adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada pengembangan komunikasi ilmiah. FORCE11 saat ini berkedudukan di San Diego, California. LSM ini beranggotakan orang-orang dari beragam latar belakang pekerjaan maupun disiplin ilmu, meliputi dosen, peneliti, pustakawan, pengembang, profesional bidang penerbitan, dan mahasiswa pasca sarjana.

Keragaman anggota FORCE11 tecermin dari para peserta yang hadir dalam acara ini. Saya bertemu dan sempat mengobrol dengan Tom Olijhoek, editor-in-chief DOAJ. Beliau menjadi salah satu pemateri kursus tentang penerapan Plan S di Eropa dan pengaruhnya terhadap komunikasi ilmiah. Di kelas FAIR data, saya duduk bersebelahan dengan Ibraheem Ali, pustakawan data (data librarian) yang juga peneliti biologi molekuler di UCLA. Beberapa teman sesama penerima beasiswa merupakan mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai kampus, baik di dalam maupun di luar AS.

FSCI menawarkan pilihan kelas yang cukup variatif dan semua topiknya seputar isu-isu terbaru. Hanya saja, demi kedalaman materi sekaligus keterbatasan waktu, para partisipan hanya diperbolehkan untuk mengikuti 3 (tiga) kelas. Saya memilih kelas FAIR data, kelas penggunaan Dataverse, dan open publishing. Saya memilih topik-topik tersebut dengan pertimbangan materinya yang cukup aplikatif, sehingga peluang untuk bisa diterapkan di UIN Malang cukup besar.

Selain kelas kursus, ada beberapa kegiatan yang lain, di antaranya plenary sessions, lightning talk, dan do-a-thon. Di forum lightning talk, saya mempresentasikan perkembangan sains terbuka di Indonesia yang digagas oleh Tim Sains Terbuka Indonesia.

Apa yang saya peroleh dari acara ini?

Tentu banyak sekali hal yang bisa saya pelajari dari kegiatan FSCI ini. Namun, untuk memudahkan pembaca, saya akan berfokus pada tiga poin inti.

Pertama, perkembangan komunikasi ilmiah secara internasional. Meski tingkat kemajuannya bervariasi di banyak negara, ada banyak juga faktor kesamaan. Misalnya tentang perkembangan pra-cetak atau pre-print di negara-negara maju yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Meski pengelolaan data riset sudah cukup baik, ternyata belum semua peneliti dengan sadar mau melakukan arsip mandiri. Tantangan ini bisa ditemui di negara maju maupun negara berkembang.

Demikian juga dengan aspek prinsip-prinsip FAIR (findable, accessible, interoperable, and reusable) dalam manajemen data riset . Beberapa teman pustakawan bidang medis asal AS bercerita mengenai sulitnya mengakses data yang bisa digunakan kembali. Di lapangan, aspek FAIR belum sepenuhnya terimplementasikan dengan baik dan ideal.

Dari paparan beberapa kolega di Amerika Latin dan Afrika, geliat gerakan akses terbuka di kedua wilayah tersebut cukup baik. Melihat sejarahnya, Amerika Latin malah dapat disebut sebagai salah satu pelopor akses terbuka di dunia. Masalah yang mereka hadapi saat ini adalah tarik ulur antar penerbit, antara mau berkolaborasi atau berkompetisi dengan satu sama lain.

Sedangkan untuk Afrika, yang menarik adalah bahwa motor penggerak akses terbuka kini mulai berdatangan dari generasi yang lebih muda, para mahasiswa. Beberapa di antara mereka adalah alumni kegiatan OpenCon di luar Afrika. Saya cukup optimistis Indonesia juga bisa seperti Afrika mengingat mulai adanya bibit-bibit muda yang sadar tentang pentingnya pengetahuan terbuka.

Kedua, tentang pentingnya upaya kolaborasi. Semua bentuk inisiatif gerakan terbuka, mau itu sains terbuka, akses terbuka, dan lain sebagainya, memerlukan kolaborasi banyak pihak yang berkepentingan untuk bisa maju dan berkembang. Di tataran universitas, misalnya, akademisi, peneliti, pustakawan, dan mahasiswa perlu menjalin kerjasama dalam memajukan gerakan terbuka. Di forum ini saya melihat antusiasme yang besar baik dari kalangan akademisi maupun praktisi dalam mendukung gerakan terbuka.

Di tingkat nasional dalam konteks Indonesia, mungkin upaya kolaborasi sudah mulai berjalan. Namun, dalam praktik sehari-hari, kita bisa melihat bahwa terkadang yang berjalan hanya satu pihak, misalnya dosen saja atau pustakawan saja. Menggantungkan nasib gerakan akses terbuka hanya pada satu pihak jelas bukan langkah cerdas. Demikian juga dengan kaderisasi. Perlu lebih banyak orang muda yang harus terlibat dalam gerakan terbuka di Indonesia.

Terkait dengan gerakan akses terbuka di Indonesia, otokritik saya untuk komunitas pustakawan akademik, mengapa tidak mengambil peran lebih besar dan mulai memperkuat kemampuan advokasi. Secara umum, saya melihat kemampuan advokasi para pustakawan Indonesia masih cukup lemah, terutama dalam hal mengawal gerakan terbuka di kampusnya masing-masing. Akses terbuka di Indonesia sudah berusia cukup panjang, mungkin sudah satu dekade, tetapi apakah kita sudah melihat berapa jumlah repositori institusi yang menyediakan akses publik untuk hasil riset di perguruan tinggi?

Ketiga, jika institusi ingin maju, perkuat sumberdaya pustakawan. Catatan terakhir ini khusus untuk pustakawan perguruan tinggi dan manajemen universitas. Pembangunan universitas harus menyeluruh dan melibatkan banyak aktor-aktor, di antaranya adalah kalangan pustakawan. Alangkah baik jika kampus mendukung sepenuhnya upaya pustakawan untuk mengembangkan diri. Pustakawan yang berdaya dan memahami perannya tentu akan berkontribusi lebih besar bagi universitas. Sulit membayangkan sebuah universitas akan betul-betul maju di semua lini, jika pustakawannya belum sepenuhnya teberdayakan dengan baik.

Dari ketiga catatan ini, saya berharap banyak gerakan terbuka semakin memperoleh tempat di Indonesia. Semakin banyak pemain, semakin banyak orang muda yang terlibat, dan semakin banyak inisiatif yang muncul.

Semoga catatan singkat ini bermanfaat untuk Anda.

[/kc_column_text][/kc_column][/kc_row]

Share.

Comments are closed.